Pertama, sangat perlu saya sampaikan permintaan maaf di awal tulisan ini. Untuk mengantisipasi adanya dugaan salah paham dan sejenisnya. Saya menulis postingan ini murni sebuah pendapat pribadi. Bahkan saya lebih nyaman tulisan ini disebut sebagai sebuah curahan hati, yang mengharap pencerahan dan pendapat dari para pembaca cuap-cuap sekalian.
Kita semua tahu bahwa indonesia dihuni oleh ratusan juta manusia yang tersebar di ribuan pulau. Sudah pasti keragaman etnik budaya ada didalamnya. Terlebih sebuah perbedaan kebiasaan setiap wilayah dan individunya. Termasuk saya, yang terlahir di dataran pulau sumatera , Lampung. Meski dilahirkan di lampung, Saya merupakan anak yang berkesukuan sunda. Orang tua saya merantau dari jawa barat ke lampung ini sejak masa pemerintahan sukarno.
Jujur, meski saya keturunan sunda dan setiap hari saya bertutur bahasa sunda. Saya tidak begitu banyak mengetahui tentang budaya dan segala hal tentang sunda. Maklum,sejak kecil saya dibesarkan dilingkungan yang plural. Bahkan dalam satu kampung, terdapat banyak sekali suku. Dan mayoritas sudah pasti suku pribumi,lampung. Tidak heran saya juga pasih berbahasa lampung. Bahkan lebih mengetahui banyak tentang budaya lampung dibanding sunda. Suatu hal yang wajar saya rasa bagi etnis pendatang.
Seperti saya katakan tadi, saya tidak banyak tau semua hal tentang budaya sunda. Tapi, Yang sudah pasti saya tahu adalah saya bisa berbahasa sunda. Ya, hanya satu gaya bahasa sunda versi saya. Dulu belum pernah tahu bahwa ternyata untuk bahasa sunda sendiri banyak sekali macam gaya bahasanya. Karena banyak macamnya, akhirnya menimbulkan sebuah perbedaan dan pembagian. Termasuk penyebutan “BAHASA HALUS DAN KASAR”.
Saya tidak begitu paham latar belakang kenapa ada pembagian halus – kasar ini. Yang jelas pengalaman pertama kali saya mendapat predikat penutur bahasa sunda kasar adalah saat saya bertemu dengan orang-orang sunda dipulau jawa. Saat itu saya mendapat pekerjaan disana. Saya berbincang-bincang dengan bahasa sunda yang selama ini saya pakai. Ya, Sedikit kaget saat itu dikatakan “kamu kok kasar banget ya ngomongnya,yang sopan itu begini, begini.. dan begini… (sambil diberikan contoh kosakata bahasa sunda yang halus dan sopan,katanya!).
Saya ingat beberapa kalimat bahasa sunda yang saya katakan dan kemudian dia rubah ke versi halus dan sopan :
“ diimah mah paling dahar heer-dahar hees “ menjadi “ ari dibumi palingan teh sare madang-sare madang” (kalau dirumah tidur makan-tidur makan) . dan banyak lagi..
pernah juga saya mengikuti perlombaan ditingkat nasional di tanah jawa. Saat itu adalah waktu untuk memperkenalkan diri kepada juri. Saya di tanya bisa bahasa daerah apa saja. Saya menjawab sejujurnya saya keturunan sunda dan juga bisa bahasa lampung.
Saat diminta untuk memkenalkan diri memakai bahasa sunda. Belum selesai mempresentasikan diri. seketika saya ditertawakan oleh beberapa dewan juri yang nampaknya adalah asli orang sunda. Mereka mengatakan kalau bahasa sunda yang saya gunakan kurang sopan dan kasar. Bahkan kurang pantas jika dipakai berpidato dihalayak umum. Mereka menyuruh saya untuk mempelajari bahasa halus dan sopannya. Ah entahlah. Bukan perkata setuju atau tidak. yang jelas jika begini realitanya, smua orang sunda yang saya kenal dilampung sepertinya tidak pantas untuk bertutur sunda di publik dengan bahasa sunda yang biasa kami gunakan.
Pada kesempatan itu saya sangat ingin menyanggah . Lebih tepatnya membela diri. Ya jelas, saya harus membela diri. tentang penyebutan bahasa kasar dan halus ini. Saya ingin mengatakan bahwa, saya rasa untuk penuturan bahasa kita memilki gaya sendiri sendiri. Sangat tidak bisa dipaksakan kalau orang sunda harus menguasai bahasa sunda dengan semua versi. Karena kita tidak tahu dia dibesarkan dilingkungan apa, bagaimana dan dimana. Dan ketika dia berkumpul dengan komunitas/kelompok penutur yang menganggapnya berbeda. Bukan berarti dia harus mendapat predikat bahwa dia “kasar-tidak sopan”. Padahal apa yang dia pelajari dan pahami dilingkungan tempat tinggalnya lah yang membentuk pribadi dan gayanya sendiri seperti itu. Termasuk dalam hal dialektika dan intonasi bahasanya. Anggap saja sebuah perbedaan. Bukan perbandingan.
Tapi saya tidak bisa mengatakannya saat itu, karena memang timing yang tidak tepat. Dengan durasi yang terbatas, tidaklah efektif menyanggah pernyataan itu. Karena saya yakin, menyanggah berarti membuka dialog baru. Yang harus memakan waktu lama. Suatu saat pasti akan saya katakan didepan umum. Minimal lewat tulisan ini.
Sebenarnya masih banyak penglaman saya tentang ini. Tapi tidak mungkin saya ceritakan smuanya, bahkan sebagian sudah ada yang saya lupa.
Yang jelas Dengan kejadian-kejadian ini. Saya hanya berharap setiap individu bisa saling menghargai dan menghormati. Terlebih bagi siapapun yang sampai saat inni masih sering mengatakan kasar – tidak sopan keorang lain. Karena harus diketahui, tidak smua orang bisa terima dan setuju dikatakan seperti itu. Termasuk dalam hal ini adalh saya. Saya kurang setuju dengan penggunaan istilah “kasar dan tidak sopan”. Justru orang yang mengatakan seperti itu adalah yang tidak mengetahui hakikat menghargai dan toleransi. Jika ada bahasa daerah yang salah satu gayanya lebih pantas untuk digunakan dan ditinjolkan didepan umum. Maka jangan menjudge kalau gaya bahasa yang berbeda adalah tidak pantas. Bagaimanpun juga, kita sudah mengalami kemajuan budaya. Dan seiring berkembangan budaya maka akan tercipta pula beragam gaya dan kebiasaan baru.
Nah dalam hal perkembangan ini,sudah pasti ada pelaku dan ada korban. Bisa jadi orang-orang semacam saya adalah korban dari kemajuan budaya dan zaman. Yang sudah seharusnya diberikan pemahan dan pengetahuan budaya. Atau jika tidak bisa, minimal diberikan kebebasan untuk menjalankannya dengan benar. Sesuai dengan kaidah “berbeda-beda tetapi tetap satu jua”.
Mengenai efek, jelas sekali saya rasakan akibatnya. Saya kadang enggan menggunakan bahasa daerah sunda untuk menghindari hal – hal judgment semacam ini. No dudging, saya berpesan untuk semua. Karena saya menyadari bahwa ini terdapat di banyak bahasa daerah lainnya juga. Saya katakan dengan tegas bahwa penggunaaan bahasa “tidak sopan dan kasar” sangat tidak pantas untuk penutur yang berbeda dengan aslinya. Jika memang kami penutur yang seperti itu, gunakanlah kata istilah yang lebih sopan dan pantas kami dengar. Misalnya istilah “formal dan tidak formal” atau lainnya. Secara sepintas, memiliki konotasi yang hampir sama. Tapi memiliki pengertian yang sangat jauh berbeda. Bahkan penggunaan kata yang tepat bisa mempengaruhi kedekatan dan emosional. Marilah kita menjadi penutur bahasa yang pintar dan bijak. Kita lestarikan ragam budaya dan bahasa yang kita miliki masing masing. Kita hindari men-judge yang justru melukai hati sesama kita. Kita satu!
Terakhir saya sekali lagi meminta maaf. Jika postingan dalam tulisan ini berkesan lebih emosional dan egois. Sama sekali tidak seperti itu, saya hanya berusaha untuk menegaskan pendapat dan keluhan saya selama ini.
Mohon pencerahannya – Salam damai, 🙂